Rabu, 15 Mei 2013

Karangan Argumentasi bertema Korupsi


Hukuman Sosial Bagi Para Koruptor
Ketika negara terlalu berpihak dan menguntungkan koruptor, timbul spirit dan gagasan baru dari masyarakat sendiri untuk ”menghukum” pelaku korupsi. Sebagian besar publik menyerukan perlunya penerapan sanksi sosial bagi koruptor, meski dinilai belum tentu efektif.
Pemberantasan korupsi menjadi agenda besar pemerintah yang tampaknya terus mengalami ganjalan. Di luar soal polemik institusi, yaitu ”perseteruan” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI, ada pula persoalan sistemis, yakni penanganan dan pemidanaan pelaku korupsi. Ringannya hukuman bagi koruptor menjadikan publik belum bisa mengapresiasi sepenuhnya langkah-langkah pemberantasan korupsi oleh pemerintah.

 
Catatan Koalisi Masyarakat Sipil menyebutkan, hingga Agustus 2012 sebanyak 71 terdakwa korupsi melenggang bebas di pengadilan tindak pidana korupsi. Kalaupun dihukum, mayoritas vonis hukuman bagi koruptor 1-2 tahun. Dengan demikian, cukup mudah bagi para koruptor melewati ”masa penderitaan” ketimbang pelaku kriminal biasa yang bisa mencapai beberapa kali lipat masa hukumannya.
Tiga dari empat responden jajak pendapat melihat kadar vonis yang dijatuhkan bagi pelaku korupsi masih terlalu ringan dan dinilai tidak memberikan efek jera. Tidak heran, sinisme terhadap upaya pemberantasan korupsi tercermin kuat dari jajak pendapat kali ini. Hampir seluruh responden (89,9 persen) yang dihubungi di berbagai kota mengungkapkan ketidakpuasan akan situasi pemidanaan pelaku korupsi saat ini.
Pukulan telak bagi proses wacana dan gerakan pemberantasan korupsi bertambah saat sejumlah bekas terdakwa atau narapidana justru tetap bisa mengemban jabatan-jabatan publik. Peristiwa paling baru adalah pengangkatan Azirwan yang pernah dipidana 2,5 tahun penjara dalam kasus suap sebagai Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau. Pemerintah berpedoman pada argumen ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Kepegawaian yang menyebutkan, PNS yang dihukum kurang dari empat tahun tidak diberhentikan. Dari sisi aturan hukum, kebijakan ini tidak menyalahi undang-undang.
Namun, dari aspek moral dan etika, promosi ini dipandang tidak patut. Rohaniwan Franz Magnis-Suseno dalam buku Etika Politik (1987) menyebutkan peran etika politik untuk mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia yang berpedoman pada etika politik. Bila batasan itu dilanggar, akan muncul hukuman moral.
Aspek tanggung jawab dan kewajiban berhadapan pula dengan sumpah dan janji yang pernah diucapkan saat menjadi pegawai negeri (dalam UU Kepegawaian), yaitu bekerja dengan jujur dan mengutamakan kepentingan negara. Secara normatif, tengok pula pedoman umum dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Bersih dan Bebas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang semestinya menjadi pedoman para penyelenggara negara dalam mengedepankan semangat antikorupsi.
Promosi jabatan bagi Azirwan tak pelak menjadi pertanyaan besar tentang keseriusan pemerintah dan konsistensi sistem hukum dalam upaya pembersihan korupsi di negeri ini. Hebatnya lagi, Azirwan bukanlah satu-satunya contoh bagaimana koruptor masih mendapatkan ruang gerak di negeri ini. Dalam dua tahun terakhir sedikitnya terdapat enam pejabat publik yang tetap dilantik meski terjerat kasus korupsi. Sejak disuarakan saat reformasi, publik terus menanti kemerdekaan negeri ini dari praktik yang telah menggerogoti moralitas bangsa. Sayangnya, tingginya asa masyarakat masih berjarak dengan kondisi realitas sesungguhnya.
Karena itu, tak heran bahwa publik melihat kini saatnya mekanisme ”hukuman sosial” diterapkan bagi koruptor. Sejauh ini hukuman sosial yang dimaksudkan adalah bentuk hukuman yang lebih bersifat sanksi di luar proses hukum positif. Artinya, hukuman itu berada di ranah nonformal sistem peradilan. Meskipun demikian, tak tertutup pula bentuk hukuman sosial menjadi salah satu bagian dari proses pemidanaan dalam kasus korupsi.
Gagasan bentuk hukuman sosial yang paling banyak disetujui responden adalah pengumuman koruptor di media massa, seperti televisi atau koran. Nyaris seluruh responden (92,8 persen) menyetujui bentuk hukuman tersebut. Bentuk berikutnya adalah mengajak masyarakat untuk tidak memilih pejabat korup dalam semua kontestasi politik. Terhadap bentuk itu, sebanyak 82,3 persen responden menyetujui. Bentuk ketiga paling ekstrem, yaitu mengucilkan dari pergaulan masyarakat, cenderung kurang disetujui.
Dibanding hukuman badan (penjara), hukuman sosial memang kurang dinilai efektif meredam aksi korupsi. Bagian terbesar publik jajak pendapat ini tetap melihat perlunya pengenaan hukuman badan yang lebih tegas ketimbang sekadar pengenaan hukuman sosial. Meski demikian, bercermin dari lemahnya aturan dan sistem hukum, sepertiga bagian responden menegaskan perlunya kedua mekanisme itu diterapkan bersamaan.
Penerapan hukuman sosial oleh masyarakat memang bisa dimaknai sebagai sebuah ”perlawanan publik” atas rasa putus asa publik terhadap kebijakan negara yang terlalu longgar bagi pelaku korupsi. Lebih jauh, korupsi dan berbagai penyimpangan etika dalam konteks politik bisa membahayakan perjalanan demokrasi karena menimbulkan krisis kepercayaan terhadap parlemen, bahkan negara.
Hukuman sosial bagi koruptor, menurut pengamat politik Universitas Airlangga, Kacung Maridjan, menyiratkan arti ”dipenjara” secara sosial, tetapi memiliki dampak yang tidak kalah dahsyat dibanding hukuman penjara fisik. Contohnya, kepala daerah yang terbukti korup bisa dihukum untuk menjadi tukang bersih-bersih kantor di tempat mereka menjadi kepala daerah dalam kurun tahun tertentu (Kompas, 24/8).
Selain rasa tidak puas, minornya pemberantasan korupsi dan keberpihakan kebijakan kepada pelaku korupsi menggugah kesadaran masyarakat untuk memberikan hukuman dengan caranya sendiri. Selama ini, penyelenggara negara dinilai terlalu permisif terhadap pelaku korupsi. Menilik fakta yang terjadi, aturan hukum dan komitmen aparatnya menjadi celah yang dapat dimanfaatkan koruptor untuk kembali menduduki posisinya.
Pengangkatan mantan narapidana korupsi dan sejumlah kebijakan permisif terkait praktik korupsi bisa mengikis moralitas bangsa. Etika dan moralitas politik bukan lagi menjadi pedoman utama dalam kehidupan bernegara. Tidak hanya korupsi, tetapi juga berbagai polah tingkah politisi dan pejabat publik yang dinilai mulai menanggalkan etika dalam berpolitik.
Mayoritas responden menilai perlu larangan tegas terhadap narapidana korupsi untuk menjadi PNS. Larangan tegas terhadap narapidana korupsi untuk menjadi pejabat publik itu dimaksudkan agar muncul kepastian hukum untuk membangun moralitas politik yang lebih baik.

1 komentar:

 
Tissa Blogger Template by Ipietoon Blogger Template